Oleh:
Dwi Condro Triono
I.
PENDAHULUAN
Kita semua tentu
sudah menyadari, bahwa secara faktual umat Islam saat ini sedang menghadapi
banyak sekali masalah (problematika). Diantara masalah-masalah tersebut adalah:
masalah kemiskinan, kebodohan, korupsi, ketertinggalan sains teknologi,
kriminalitas, pornografi, pemurtadan, penindasan, kedzaliman, perpecahan,
penjajahan dsb.
Untuk menyelesaikan
berbagai masalah yang berat tersebut tentu kita tidak bisa melakukannya secara
sembarangan, melainkan harus dilakukan diagnosis secara mendalam. Diagnosis
tersebut ditujukan untuk menjawab: apa sesungguhnya problematika utama (qadhiyah
mashiriyah) yang menimpa ummat ini, sehingga ummat Islam harus terbelenggu
dengan berbagai macam problematika yang seakan tidak berujung pangkal tersebut.
Dari hasil
diagnosis yang jernih dan mendalam yang dapat kita dilakukan, kita dapat
menyimpulkan bahwa problematika utama (qadhiyah mashiriyah) ummat
Islam saat ini adalah tidak adanya kehidupan Islam yang dipimpin oleh
seorang khalilfah. Problematika utama inilah yang akhirnya melahirkan
banyak problematika cabang atau problem akibat dari sebuah problem
sebab yang besar (problematika utama) tersebut. Problem cabang itu
selanjutnya kita kenal dengan istilah fasad (kerusakan).
Jika kita sudah
menemukan problematika utama dari ummat Islam, maka dari titik inilah
seharusnya penyelesaian (solusi) itu diarahkan. Jika problematika utama ini
dapat diselesaikan, maka diharapkan seluruh problematika cabang yang disebut fasad
tersebut akan selesai dengan sendirinya.
Upaya untuk
menyelesaikan problematika utama tersebut tentu tidak dapat dilakukan secara
perorangan, mengingat beratnya beban problem yang harus diselesaikan. Islam
telah memberikan jalan agar penyelesaian tersebut dilakukan secara berjamaah (jamaiyyah),
sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, surat Ali Imron, ayat 104:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé&
tbqããôt n<Î) Îösø:$#
tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î tböqyg÷Ztur Ç`tã
Ìs3YßJø9$#
4
y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd
cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
“Dan hendaklah ada
di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung”.
Ayat di atas telah
memerintahkan kepada ummat Islam agar membentuk sebuah jama’ah atau kelompok (kutlah)
yang memiliki tugas utama yaitu menyeru kepada Islam dan melakukan amar
ma’ruf nahi munkar (melakukan dakwah). Dengan demikian, keberadaan kelompok
dakwah tersebut harus memfokuskan diri bagi terselesaikannya problematika utama
dari ummat Islam sekarang ini.
Dakwah yang
ditujukan untuk menyelesaikan persoalan utama ummat, yaitu dengan mewujudkan
kembali kehidupan Islam ini kemudian kita namakan dengan sebutan dakwah
untuk melanjutkan kehidupan Islam (li isti’nafi al-hayati al-islamiyyah),
yakni dakwah untuk mengajak kaum muslimin kepada pengamalan seluruh hukum-hukum
Islam (audatu al-muslimin ila al-amal bijamii ahkami al-islami).
Selanjutnya, yang
menjadi permasalahan kita adalah, bagaimana metodenya agar kehidupan Islam itu
dapat ditegakkan kembali? Sebagaimana telah disinggung di atas, kehidupan Islam
tidak mungkin bisa terwujud kembali, kecuali harus ada kekhilafahan. Dengan
demikian, satu-satunya metode untuk mewujudkan kehidupan Islam tidak lain adalah
dengan metode menegakkan kembali kekhilafahan (bi thariqi iqomatu
al-khilafah) di atas muka bumi ini.
Dengan demikian,
yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: bagaimana metodenya agar
kekhilafahan Islam itu dapat tegak kembali? Setelah lebih dari 80 tahun kita
ummat Islam sudah kehilangan kekhilafahan, bagaimana agar kekhilafahan yang
sudah runtuh itu dapat diwujudkan kembali? Inilah pertanyaan besar yang Insya
Allah ingin dijawab dalam makalah ini.
Untuk memahaminya
secara mendalam, bagaimana metode (thoriqoh) untuk mewujudkan
kembali kekhilafahan, maka paling tidak ada 4 hal yang harus difahami berkaitan
dengan thoriqoh tersebut, yaitu:
1.
Batasan fikroh dan thoriqoh.
2.
Kriteria thoriqoh.
3.
Thoriqoh mewujudkan
kekhilafahan.
4.
Thoriqoh yang shohih.
Selanjutnya, untuk
pemahaman yang lebih terperinci tentang kelima hal terserbut, akan dibahas satu
per satu dalam bab-bab berikut ini.
II.
BATASAN
FIKROH DAN THORIQOH
Kita tentu sudah
memahami bahwa yang dimaksud dengan fikroh secara sederhana
adalah konsep, sedangkan thoriqoh adalah metode.
Pertanyaannya adalah, mengapa hal itu masih perlu kita perbincangkan lagi?
Dalam menyusun langkah dakwah, seringkali kita mencampuradukkan antara konsep
dan metode. Tidak ada batasan yang jelas. Idealisme dalam konsep sering dikorbankan
karena khawatir tidak mampu mewujudkannya. Dalam menyusun metode juga sering
tidak ideal karena benturan dengan konsep. Seharusnya, berbicara konsep adalah
satu masalah dan berbicara metode adalah masalah yang lain.
Misalnya saja, jika
kita telah membahas tentang ekonomi Islam secara mendalam, kemudian memperoleh
kesimpulan bahwa bahan bakar minyak (BBM) itu adalah milik umum, milik seluruh
rakyat. Rakyat seharusnya dapat memperoleh minyak itu secara gratis. Pemahaman
ini tentu masih masih berada dalam dataran konsep. Selanjutnya, yang harus kita
bahas adalah bagaimana metodenya rakyat dapat memperoleh minyak secara gratis?
Di sinilah kita
membutuhkan pembahasan sebuah metode, bagaimana caranya agar rakyat bisa
memperoleh minyak secara gratis. Pembahasan metode ini seharusnya tidak
dicampuri dengan hal-hal yang berada di luar metode itu sendiri, apalagi jika
harus dikisruhi dengan fakta di lapangan, yang menunjukkan bahwa menggratiskan
minyak itu adalah sesuatu yang nyaris tidak mungkin. Jika hal itu dianggap
tidak mungkin, maka bisa jadi yang akan dikorbankan adalah konsepnya (fikrohnya).
Maka, bisa jadi konsep ekonomi Islam tersebut akan diaduk-aduk lagi, mungkin
dianggap tidak relevan, mungkin banyak yang harus dirubah, atau bahkan mungkin
akan dihapuskan sekalian konsep yang sudah dianggap tidak relevan tersebut.
Padahal seharusnya
pembahasan metode itu harus berdiri sendiri dan benar-benar harus berfungsi
untuk merealisasikan konsep, bukan sebaliknya, yaitu untuk mengorbankan konsep.
Disinilah perlu adanya batasan yang tegas, antara wilayah fikroh
(konsep) dan wilayah thoriqoh (metode).
Batasan yang tegas
antara konsep dengan metode dapat kita gambarkan dengan contoh sederhana
sebagai berikut: jika kita sudah mendapatkan gambaran tentang konsep politik
Islam utuh dan menyeluruh, maka kita akan dapat membayangkan bagaimana
indahnya hidup dalam naungan politik Islam. Sampai di sinilah sebuah konsep
(fikroh) dianggap mencapai batas puncaknya. Selanjutnya insya
Allah akan memunculkan perrtanyaan: bagaimana cara (metode) untuk
mewujudkan keindahan sistem politik Islam tersebut? Nah, berangkat dari
pertanyaan inilah batas thoriqoh akan dimulai.
III.
KRITERIA
THORIQOH
Adanya keinginan
untuk mewujudkan fikroh Islam, sebagaimana telah dijelaskan di
atas adalah batas yang tegas antara fikroh dan thoriqoh.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap fikroh pasti
membutuhkan thoriqoh. Namun, dengan pemahaman tentang batas fikroh
dan thoriqoh apakah sudah cukup?
Ummat Islam sudah
banyak melakukan langkah-langkah untuk mewujudkan berbagai konsep (fikroh)
yang telah difahaminya. Semua langkah yang telah diupayakan tersebut biasanya
langsung anggap sebagai thoriqoh. Pertanyaannya, apakah semua langkah
tersebut dapat langsung dikategorikan sebagai thoriqoh? Disinilah
perlunya kita memahami kriteria suatu langkah itu dapat dikategorikan sebagai thoriqoh
atau masih dalam dataran konsep (fikroh).
Untuk memahaminya,
marilah kita ambil contoh-contoh sebagai berikut: jika Islam mewajibkan seluruh
ummatnya untuk melaksanakan sholat. Bagaimana metodenya agar seluruh
ummat Islam menjalankan sholat? Ini adalah fikroh yang ada dalam Islam. Thoriqohnya
bagaimana? Apakah cukup dengan menyebarkan buku tuntunan sholat, menyebar
stiker anjuran sholat, memasang spanduk peringatan sholat, menggalakkan dakwah
tentang sholat.
Pertanyaan besarnya
adalah, apakah jika semua langkah-langkah tersebut sudah dijalankan, ummat
Islam akan melaksanakan sholat 5 waktu secara keseluruhan? Jika kita tidak
dapat mehunghubungkan sebab-akibatnya, maka pertanyaannya: apakah semua itu
dapat dikategorikan sebagai thoriqoh?
Contoh yang lain
adalah, Islam mengharamkan korupsi. Pertanyaannya, bagaimana metodenya agar
tindak korupsi tidak merajalela? Apakah cukup dengan melakukan aksi do’a
bersama secara massal di berbagai kota besar, agar korupsi dapat dihilangkan
dari bumi Indonesia. Atau, kita perlu meningkatkan gerakan dakwah agar
masyarakat menjahui korupsi, dsb. Apakah itu semua dapat dikategorikan sebagai thoriqoh?
Jawabnya adalah,
semuanya itu belum dapat dikategorikan sebagai thoriqoh. Jadi,
setiap pemikiran yang masih dalam dataran konsep adalah fikroh. Maka
yang dimaksud dengan thoriqoh haruslah berupa langkah-langkah konkrit
yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan fikroh dalam kehidupan nyata. Thoriqoh
harus bisa menuntun langkah apa yang harus dilakukan bagi setiap individu
manusia dalam mencapai tujuannya. Itulah beda antara fikroh dan thoriqoh.
Sekarang, kita
dapat membuat rumusan yang sederhana, apa yang dapat dimasukkan dalam kriteria thoriqoh
itu. Paling tidak ada 3 kriteria, suatu langkah dapat dikategorikan sebagai
sebuah thoriqoh, yaitu:
1.
Langkah-langkahnya
harus konkrit, bersifat fisik.
2.
Dapat menghasilkan perubahan
yang bersifat nyata.
3.
Akal manusia bisa memahami hubungan
yang “pasti” antara sebab dan akibat perubahan
ditimbulkan.
Apa contohnya?
Untuk dapat menjawabnya, marilah kita melihat beberapa contoh berikut. Kita
sudah memahami bahwa Islam memiliki konsep untuk melindungi hak kepemilikan
individu. Ini adalah fikroh. Pertanyaannya, bagaimana thoriqohnya?
Islam ternyata telah memiliki thoriqoh yang khas, yaitu dengan
diterapkannya hukuman potong tangan bagi pencuri.
Contoh yang lain
adalah, kita semua sudah memahami bahwa Islam memiliki konsep untuk melindungi
hak kehormatan manusia dan juga menjaga keturunan jenis manusia.
Ini adalah fikroh. Pertanyaannya, bagaimana thoriqohnya?
Islam ternyata telah memiliki thoriqoh yang khas, yaitu dengan
adanya penjagaan yang khas, yaitu diterapkannya hukuman cambuk atau
rajam bagi pelaku perzinaan.
Apakah sudah cukup?
Ternyata masih belum selesai persoalannya. Mengapa? Kita harus memahami bahwa
penerapan hukum potong tangan (sebagaimana telah disebutkan di atas),
selanjutnya hanya akan menjadi sebuah konsep (fikroh) semata, jika masih
memunculkan pertanyaan berikutnya, yaitu: bagaimana thoriqohnya agar
potong tangan dapat dilaksanakan?
Disinilah kita
membutuhkan thoriqoh lanjutannya. Bagaimana thoriqohnya agar
hukuman potong tangan tersebut dapat diterapkan? Jawabnya, thoriqohnya
adalah dengan mengangkat seorang khalifah untuk melaksanakan
hukuman tersebut. Apakah sudah cukup? Ternyata tetap masih belum cukup.
Permasalahan
berikutnya, keharusan mengangkat seorang khalifah hanya akan menjadi fikroh semata, sehingga membutuhkan thoriqoh
berikutnya lagi. Bagaimana thoriqohnya? Thoriqohnya adalah harus
dengan cara membai’at seorang khalifah? Apakah sudah cukup? Ternyata
masih tetap belum cukup.
Permasalahan
berikutnya adalah, keharusan membai’at seorang khalifah hanya
akan menjadi fikroh semata, sehingga membutuhkan thoriqoh
berikutnya. Yaitu, bagaimana thoriqohnya agar bai’at kepada
seorang khalifah dapat terselenggara? Disinilah muncul permasalahan yang paling
penting yang harus dijawab. Sebab, prosesi bai’at kepada seorang khalifah hanya
dapat terselenggara jika institusi khilafah itu sudah ada.
Dengan demikian,
yang menjadi pembahasan puncak adalah: bagaimana thoriqoh mewujudkan
kekhilafahan itu sendiri? Sehingga bai’at kepada seorang khalifah
dapat diwujudkan? Dari titik inilah perlunya kita membahas secara detail dan
mendalam tentang bagaimana metode (thoriqoh) mewujudkan kekhilafahan.
IV.
THORIQOH
MEWUJUDKAN KEKHILAFAHAN
Setelah kita
memahami bagaimana kriteria sebuah thoriqoh, maka kebutuhan berikutnya
adalah untuk menjawab, bagaimana metode (thoriqoh) mewujudkan
kekhilafahan?
Dalam dinamika
perjuangan Islam, kita sudah mengenal banyak sekali upaya yang telah dilakukan
ummat Islam dalam perjuangannya untuk meraih kekuasaan. Lebih spesifik lagi,
tentu saja adalah kekuasaan untuk mewujudkan kekhilafahan.
Untuk sekedar
melakukan evaluasi terhadap pemahaman di atas, kita dapat memberikan beberapa
contoh upaya-upaya yang telah dilakukan ummat Islam guna meraih kekuasaannya,
yaitu menegakkan kembali kekhilafahan.
1.
Memperbanyak majelis
dzikir, untuk mendoakan bagi terwujudnya
kekhilafahan Islam.
2.
Memperbanyak
penerbitan dan penyebarluasan buku-buku
Islam, terutama tentang kekhilafahan.
3.
Memperbanyak
pendirian sekolah Islam untuk memberikan pendidikan Islam bagi ummat
Islam.
4.
Membangun
basis-basis ekonomi Islam untuk mengembangkan praktik ekonomi Islam.
5.
Membangun berbagai rumah
sakit Islam untuk mengembangkan kesehatan Islam.
Apakah
contoh-contoh di atas dapat dikategorikan sebagai thoriqoh untuk mewujudkan
kekhilafahan? Jawabnya tentu saja tidak, belum masuk kategori thoriqoh.
Bagaimana dengan contoh yang di bawah ini?
1. Dengan membentuk “komando jihad” untuk melakukan kudeta
pada penguasa.
2. Dengan
menggunakan people power.
3. Dengan meminta
bantuan asing untuk merebut kekuasaan.
4. Dengan
menguasai parlemen.
Kita tentu sepakat,
bahwa contoh-contoh di atas dapat dikategorikan sebagai thoriqoh untuk
mewujudkan kekhilafahan. Namun mana thoriqoh yang harus kita gunakan?
Jawabnya, tentu kita harus menggunakan thoriqoh yang “benar”. Nah, permasalahan berikutnya, bagaimana
kriteria thoriqoh mewujudkan kekhilafahan yang benar (shohih)?
V.
THORIQOH
YANG SHOHIH
Untuk dapat
menjawab bagaimana thoriqoh yang shohih, maka kita perlu membuka beberapa ayat
dan Hadits sebagai berikut:
“Sesungguhnya telah
ada pada diri Rasulullah uswah hasanah bagimu, (yaitu) bagi orang yang
mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiyamat dan dia banyak menyebut
Allah” (QS. Al Ahzab: 21)
“Katakanlah:’Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu” (QS.
Ali Imron: 31)
“Apa saja yang
dibawa Rasul untuk kalian, maka ambillah. Dan apa saja yang dilarangnya untuk
kalian, maka tinggalkanlah” (QS.
Al Hasyr: 7)
Sabda Rasulullah
SAW:
“Barangsiapa
beramal dengan suatu amalan yang tidak melalui perintahku, maka amalan itu
tertolak”
Dari pemahaman
terhadap dalil-dalil di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa thoriqoh yang harus
kita ambil adalah thoriqoh yang mengikuti tuntunan Rasul SAW. Oleh karena itu,
penentuan thoriqoh tidak hanya didasarkan pada aspek strategi semata. Yang
paling utama tentu saja adalah adalah aspek Ridlo Allah SWT. Sebab, yang akan
menjadi andalan utama bagi tercapainya tujuan dan kemenangan adalah Nashrullah
semata.
Thoriqoh itu,
selanjutnya kita sebut sebagai thoriqoh Dakwah Rasul. Nah, yang menjadi
masalah berikutnya adalah, bahwa seluruh kehidupan Rasul SAW adalah kehidupan
dakwah. Bagian mana dari langkah dakwah Rasul SAW yang harus kita tiru? Apakah
semuanya?
Jika Rasul SAW
pernah dakwah di atas bukit, naik onta, haruskah kita tiru? Jika Rasul SAW
pernah dakwah, kemudian dilempari batu, haruskah kita tiru? Untuk menjawabnya,
tentu saja diperlukan sebuah upaya ijtihad, untuk melakukan pemilihan dan
pemilahan dari berbagai langkah dakwah Rasul SAW yang dapat dimasukkan dalam
kriteria sebagai berikut:
- Langkah dakwah yang hukumnya wajib.
- Rasul melaksanakannya secara terus menerus,
walaupun rintangannya berat.
- Bersifat baku (tetap).
- Tidak berubah sepanjang masa.
Dengan menggunakan kriteria tersebut maka kita dapat mengistinbathkan bahwa
thoriqoh dakwah Rasul untuk meraih kekuasaannya ada 3 tahapan (marhalah),
yaitu:
I.
Marhalah
tatsqif wa takwin.
·
Tahap Pembinaan dan Pembentukan
·
Pembinaan kader dakwah dan pembentukan
kerangka gerakan
- Marhalah
tafa’ul wal kifah.
·
Tahap Interaksi dan Perjuangan
·
Berintraksi di tengah masyarakat dan
melakukan perjuangan politik
·
Melakukan thalabun nushroh.
III. Marhalah tathbiq ahkamul Islam.
·
Tahap Penerapan Hukum-hukum Islam
·
Menerapkan hukum Islam dan mengemban
dakwah dan jihad ke luar negeri
Dari
ketiga tahapan tersut, selanjutnya kita dapat melihat bagaimana aktivitas
dakwah yang dilakukan Rasul SAW dalam masing-masing tahapan tersebut.
I.
Marhalah
tatsqif wa takwin.
·
Rasul memulai dakwah dengan mengajak
manusia memeluk Islam.
·
Rasul membina mereka dengan
pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum Islam.
·
Rasul menghimpun mereka dalam satu kutlah
(kelompok).
·
Pembentukan kutlah dakwah
dilakukan secara rahasia.
·
Rasul membina di rumah-rumah mereka,
terkadang di bukit-bukit, terkadang di rumah al-Arqam.
·
Tahap ini berakhir setelah turun
perintah untuk berdakwah secara terang-terangan (QS. Al-Hijr: 94)
- Marhalah
tafa’ul wal kifah.
·
Tahap ini dimulai dengan menampakkan kutlah
secara terang-terangan.
·
Uslub yang digunakan
Rasul yaitu dengan keluar bersama shahabat dalam 2 kelompok.
·
Mereka keluar dengan barisan rapi
mengitari Ka’bah.
·
Aktivitas yang dilakukan kutlah ini
adalah: Shiro’ul fikri, Kifahus siyasy, Kasyful khuthath, Tabanny masholihul
ummah.
·
Ketika dakwah terus meluas, tekanan
dakwahpun semakin menghebat, Rasul menyelesaikan tahap ini aktivitas Tholabun
nushroh.
·
Puncak dari tahap ini ditandai dengan Bai’at
Aqobah 2.
- Marhalah
tathbiq ahkamul Islam.
·
Di Madinah Rasul memulai dengan
membangun masjid sebagai tempat shalat, bermusyawarah dan mengatur urusan
masyarakat.
·
Rasul mengangkat Abu Bakar dan Umar
sebagai wazir.
·
Rasul menjadi pemimpin negara, hakim
dan komandan pasukan.
·
Rasul mengatur urusan pemerintahan dan
menyelesaikan pertikaian dan perselisihan dengan hukum Islam.
·
Rasul juga mengangkat komandan-komandan
pasukan dan mengirimkannya ke luar madinah untuk mengemban dakwah dan jihad.
·
Ketika Rasul wafat wilayah kekuasaan
Rasul sudah meliputi seluruh jazirah Arab.
Setelah kita
memahami gambaran singkat bagaimana aktivitas dakwah Rasul pada masing-masing
tahapan, selanjutnya bagaimana aktivitas tersebut dapat kita aplikasikan dalam
dakwah modern sekarang ini? Inilah contoh gambaran konkritnya:
I.
Marhalah
tatsqif wa takwin.
·
Dakwah dimulai dengan menyampaikan
Islam secara mabda’iy kepada ummat.
·
Mereka yang tertarik menjadi kader
dakwah akan dibina secara intensif (halqah murakkazah).
·
Pembinaan dilakukan dengan materi dan
metode tertentu untuk membentuk kader yang bersyakhshiyyah Islamiyyah.
·
Kader yang siap akan bergabung
dalam kelompok (kutlah) dakwah.
·
Keberadaan kutlah dakwah ini
masih dirahasiakan (sirriyah li tandzim, bukan sirriyah li
da’wah).
- Marhalah
tafa’ul wal kifah.
·
Tahap ini diawali dengan mengenalkan kutlah
secara terbuka kepada masyarakat.
·
Kader dakwah diterjunkan di tengah
masyarakat untuk melakukan pembinaan
umat (tatsqif jamaiy), dengan cara: shiro’ul fikri, kifahus
siyasy, kasyful khuthath, tabanny masholihul ummah.
·
Massa umat yang memiliki kesadaran
politik akan menuntut perubahan ke arah Islam.
·
Didukung oleh ahl-quwwah
(polisi, militer, politisi, pengusaha, tokoh dsb), yang setuju dan mendukung
perjuangan kutlah.
·
Kekuatan politik yang didukung oleh
berbagai pihak, Insya Allah tidak akan terbendung.
·
Diselesaikan dengan melakukan thalabun
nushroh.
·
Khilafah Islamiyah Insya Allah akan tegak,
dimulai dari satu negara yang berdaulat.
III. Marhalah tathbiq ahkamul Islam.
·
Tahap
ini akan diawali dengan diterapkannya hukum-hukum Islam untuk mengatur
seluruh urusan kehidupan di dalam negeri.
·
Dilanjutkan
dengan penyatuan negeri-negeri Islam di seluruh dunia.
·
Dilanjutkan
pula dengan melaksanakan dakwah dan jihad (futuhat)
ke seluruh penjuru dunia.
Demikianlah
gambaran singkat dari aktivitas yang seharusnya diupayakan agar kekhlafahan
dapat terwujud dalam kehidupan yang nyata di dunia ini.
VI.
PENUTUP
Demikianllah
uraian singkat bagaimana metode mewujudkan kembali kekhilafahan Islam.
Selanjutnya, apa yang diharapkan dari Hizbut Tahrir Indonesia untuk kaum
muslimin sekalian? Tentu saja adalah kesediaan untuk turut berdakwah secara
berjamaah, karena dakwah adalah kewajiban setiap muslim dan amal yang sangat
mulia, sekaligus amat sangat penting
untuk penegakan kembali izzul Islam wa al-muslimin.
Dakwah
bisa dilakukan di mana pun dan kapan pun kita berada, sesuai dengan kemampuan,
dan dengan jamaah mana pun asal mengarah pada tujuan dakwah yang utama.
Kemampuan itu juga harus selalu ditingkatkan melalui pembinaan. Sehingga
diharapkan ada di antara kaum muslimin yang benar-benar bersedia mengikuti
pembinaan intensif dalam HTI guna meningkatkan syakhshiyyah
(kepribadian) Islamnya dan kemampuannya dalam dakwah
Selanjutnya,
tentu saja diharapkan ada kaum muslimin yang bersedia untuk menjadi kader
(anggota), atau pendukung (muayyid) yang memberikan tenaga, pikiran,
dana, sarana dan hubungan (relasi) untuk kemajuan dakwah Hizbut Tahrir
Indonesia menuju tegaknya syariah dan khilafah. Dan, semua pilihan itu tentu
saja akan kembali kepada setiap individu kaum muslimin sekalian, namun tentu saja
kita mengharapkan kaum muslimin bisa memilih dengan pilihan yang terbaik.
Semuanya
itu tentu saja demi diri kita sendiri, untuk kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat. Setelah mati, kita semua akan dimintai pertanggungjawaban. Seseorang
yang mendapatkan kemenangan yang besar (faudzu al-adzim) adalah
yang hidup di akhirat dengan hasanah
(mendapat ridha Allah dan surga). Kesuksesan besar di akhirat hanya dapat
diperoleh bila di dunia memeluk aqidah dan melaksanakan syariah Islam,
termasuk bergiat dalam dakwah…
Kesempatan
kita untuk taat pada syariah dan bergiat dalam dakwah hanya selama hidup di
dunia. Setelah mati, tidak ada lagi kesempatan lagi. Kita bakal mati setiap
saat, oleh karena itu kita harus benar-benar dapat menggunakan kesempatan yang
ada dengan sebaik-baiknya sebelum semua berakhir dan tinggallah penyesalan.
Bukankah kita tak hendak menyesal nanti?
So, hurry up brothers/sisters in Islam…